Sabtu, 02 Maret 2013

Profil W.S. Rendra



W.S. Rendra
R E N D R A
Profil

Rendra, yang mempunyai nama lengkap Willibrordus Surendra Bawana Rendra dan sering dijuluki sebagai"Burung Merak", adalah penyair Indonesia ternama yang lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November1935 dan meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun.  

Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta.

Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.  Pada tahun 1967 ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, kemudian ia mendirikan Bengkel Teater Rendra di Depok, pada bulan Oktober 1985.

Rendra juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985),Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988),Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).


Karya Sastra Puisi
Ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.

Buku kumpulan sajak/puisi Rendra, antara lain, sebagai berikut :

Ballada Orang-Orang Tercinta (1957)
Ia Sudah Bertualang (1963)
Blues untuk Bonnie (1971)
Empat Kumpulan Sajak (1961-1978)
Sajak-sajak Sepatu Tua (1972)
Mempertimbangkan Tradisi (1983)
Mencari Bapak (1985)
Perjalanan Bu Aminah
Nyanyian Orang Urakan (1985)
Pamphleten van een Dichter (1979)
Potret Pembangunan Dalam Puisi (1980)
Disebabkan Oleh Angin (1993)
Orang Orang Rangkasbitung (1993)
Rendra: Ballads and Blues Poem
State of Emergency (1980)

Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris,BelandaJermanJepang dan India. Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudulRendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen LiteraturVerlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.

Apresiasi Puisi
Meskipun Rendra sudah mulai menulis sajak/puisi mulai tahun 1952-an, namun puisi-puisinya pada tahun 1950-1960-an masih nampak biasa-biasa saja dengan tema seputar cinta, Tuhan, dan kehidupan.  Pada masa itu puisi-puisi Rendra masih belum berbau politik dan menyentuh otoritas kekuasaan.  Berbeda dengan puisi-puisi Taufiq Ismail (penyair Indonesia yang seusia dengannya) yang banyak menyoroti kondisi politik pada akhir rezim Bung Karno, sehingga karya sastranya dikategorikan sebagai angkatan 1966, puisi-puisi Rendra waktu itu masih belum menemukan dan menunjukkan jati-dirinya.
Puisi-puisi Rendra baru menjadi besar dan dibesarkan, serta mencapai jaman keemasannya, pada masa Orde Baru, terutama justru pada saat kebebasan berekspresi dibatasi.  Sejak saat itulah puisi-puisinya banyak bernada menggugat kekuasaan, kritik sosial, dan memperdengarkan suara kelompok orang-orang tertindas (rakyat, buruh-tani, perempuan pembantu, pelacur, pencopet), termasuk anak-anak muda yang kecewa pada bimbingan (pembatasan) para orangtua.  Beberapa puisi Rendra ditulis sangat panjang, di antaranya adalah Nyanyian Angsa.  Rendra kadang juga menulis beberapa puisinya berdasarkan ide dan pesan narasi dalam naskah-naskah drama yang dipentaskannya.  Dibandingkan dengan Chairil Anwar dan Taufiq Ismail, Rendra lebih urakan dan blak-blakan dalam menuliskan puisinya.
Dalam Aku Tulis Pamplet Ini dan Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia kita bisa melihat bagaimana Rendra menggugat pada kekuasaan.  “Aku tulis pamplet ini/karena lembaga pendapat umum/ditutupi jaring labah-labah//Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,/dan ungkapan diri ditekan/menjadi peng - iya  an//”, begitu alasan Rendra dalam Aku Tulis Pampleti Ini. Puisinya yang bernada kritik sosial antara lain dapat ditemui pada Potret KeluargaSajak Sebatang Lisong, dan Pesan Pencopet Kepada Pacarnya. Berikut kritik sosial Rendra terhadap Kesenian Salon yang dikutip dari puisi Sajak Sebatang Lisong, “aku bertanya/tetapi pertanyaanku/membentur jidat penyair – penyair salon/yang bersajak tentang anggur dan rembulan/sementara ketidak adilan terjadi disampingnya/dan delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan/termangu – mangu di kaki dewi kesenian//” 

Puisi-puisi yang melukiskan kondisi orang-orang miskin yang tertindas dapat disimak, antara lain, pada Sajak Burung-Burung KondorSajak Orang KepanasanOrang-Orang Miskin, dan Gadis dan Majikan.  Perhatian dan keberpihakan Rendra kepada pelacur dapat dibaca antara lain pada Nyanyian Angsa dan Bersatulah Pelacur-Pelacur Ibukota.   Sementara gambaran tentang masa depan generasi muda yang gagap dapat dilihat pada Sajak Anak Muda. Bagi mereka yang menyukai sebuah renungan, ada sebuah puisi menarik, Sajak Makna Sebuah Titipan (Renungan Indah), yang bicara tentang  renungan mengenai makna “Titipan Allah”. Pembaca yang tertarik untuk menyimak puisi terakhir Rendra, silakan melihatnya di Tuhan, Aku Cinta Padamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar