16 Februari 2013 | 19:02 wib
Nasehat dari Masa Lalu untuk Masa
Depan
JAKARTA, suaramerdeka.com - Dalam sebuah kutipan wawancara Subcomandante Marcos, juru
bicara karismatis Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN) Meksiko, yang
mengangkat senjata sejak 1 Januari 1994 untuk melawan terampasnya hak-hak
masyarakat adat oleh proses globalisasi ekonomi neoliberal, mengatakan,
"Kata Adalah Senjata." Jawaban itu dia berikan kepada sastrawan
Gabriel García Márquez dan Roberto Pombo mewakili majalah Meksiko, Revista
Cambio.
Benar saja, via ribuan kata-katanya
yang mengalir bak senjata, Subcomandante Marcos melakukan perlawanan kepada
siapa saja yang dia nilai telah merampas hak-hak masyarakat adat karena
serakahnya globlalisasi, dan neolibelarisme yang makin menggila, hingga kini.
Demikian halnya dengan Yan Widjaja,
dengan kata-katanya pula, dia yang sejak Taman Kanak-Kanak sudah mengasup
berbagai bacaan, bahkan ketika duduk di bangku SD sudah mengoleksi lengkap 40
jilid komik wayang karya R.A Kosasih (hal 587). Kemudian
"menelanjangi" novel-novel karya angkatan Pujangga Baru, juga
berbagai karya sastra dunia dari Mark Twain, Karl May, Alexandre Dumas, Victor
Hugo, Shakespeare dan masih banyak nama lainnya, akhirnya kembali melahirkan
buku barunya berjudul Maharani Bu Cek Tian; Kisah Klasik Petualangan Asmara,
Intrik Politik, dan Pengkhianatan.
Dan senjatanya kali ini, menarasikan
dengan menggubah kisah besar Bu Cek-tian (Wu Ce-tien). Seorang Maharani
Budiwati yang berhasil memimpin negeri Tiongkok sampai ke puncak masa jayanya.
Meski di beberapa cerita, ada yang mencercanya sebagai perebut takhta kerajaan
Dinasti Tang, dan menggantikannya dengan semena-mena, di samping wataknya yang
haus seks. (hal ix).
Dalam buku yang diterbitkan Penerbit
PT. Gramedia Pustaka Utama, setebal ix dan 587 halaman, serta terdiri dalam 75
Bab itulah, sosok Maharani, yang dalam catatan Yan telah diangkat ke cerita
layar lebar, di antaranya karya sutradara Li Han-siang yang diproduksi Shaw
Brothers, dia gubah dengan tidak mengecewakan. Dalam versi film pertama, sosok
Maharani, dalam film Wou-hou (1960), dan sekuelnya, Empres Wu
(1963) sepakterjak Maharani nan cantik tapi mematikan itu, telah menimbulkan
interpretasi beragam dari pembaca sejarah.
Sehingga tidak berlebihan, pada era
80-an, masih dalam catatan penulis yang telah menjadi wartawan film sejak 1975
setelah hijrah ke Jakarta dari Purwokerto, kisah Maharani oleh TVB Hong Kong
dibuat serialnya berjudul Empres Wu berdurasi 60 menit, sepanjang 30
episode, dan mendapat sambutan yang sangat luar biasa, pada masanya.
Di Indonesia pun, seri ini beredar
dengan judul sama, dan mendapatkan sambutan yang tidak mengecewakan pula.
Sebagai penggubah kisah besar itu, Yan juga menyadari, walau berlatar sejumlah
tokoh yang benar-benar ada, dan pernah hidup, tapi pada hakekatnya kisah
Maharani Bu Cek Tian, sejatinya separuhnya adalah dongeng, atau legenda.
Sehingga dia layak masuk dalam daftar cerita legenda klasik seperti Sam Kok, 106
Berandal Bukit Liang-san, See Yu Pak yu dan Hing Sin. (hal x)
Sehingga pengarang asli dan
pertamanya pun menjadi anonim, alias tak jelas juntrungannya, karena tidak ada
catatan sejarah yang pasti, dan kredibel, dan oleh karenanya sudah hidup antara
dunia nyata dan dongeng yang terus berkembang di masyarakat. Dan dalam versi
Yan, yang telah menghasilkan lebih dari 125 judul buku, kisah Maharani yang dia
gubah, berdasarkan cerita yang beredar di kalangan rakyat jelata masyarakat
Tionghoa, dan malah bukan berdasarkan pada apa yang tertulis di sejarah resmi.
Yang biasanya, sebagaimana kita maklumi bersama, sejarah dituliskan oleh para
pemenangnya.
Mungkin, demi menghindari
subyektifitas para pemenang itulah, Yan memilih untuk berleluasa ria,
mengembangkan imajinasinya menggubah cerita ini, dengan tetap patuh pada pakem
cerita utama, tentunya. Hasilnya, tokoh-tokoh dalam legenda Bu Cek-tian, yang
terbangun dari seratus nama, dan terbagi dalam enam kelompok besar, mengalir
dengan lancar, liat, menarik sekaligus aktual dengan kondisi saat ini.
Dari kelompok I: Kelompok Lie Sie-Bin,
kelompok II: Kelompok Bu Cek-tian, kelompok III: Kelompok Sie Kong, kelompok
IV: Kelompok Sie Kiang, kelompok V: Kelompok Lie Yok, dan kelompok VI: Kelompok
Lie Tan, pembaca akan dibawa mengikuti parade besar sejarah manusia, dalam
merebut, mempertahankan, memelihara, juga menghancurkan sesama atas nama apa
saja, demi sebuah ganjaran bernama ke-ku-a-sa-an!
Kurusetra, dalam buku ini bisa
terjadi di mana saja, tapi nasehat dari masa lalu, dalam buku ini, masih dan
sangat erat kaitan korelasinya untuk masa kini, bahkan masa depan. Tidak
berlebihan bila Yan, yang menggambarkan tokoh utama Bu Cek-tian yang konon
kecantikannya setara dengan ratu Mesir, Cleopatra. Keganasannya sebanding
dengan Sultan Persia, Syah Rayar, --yang setiap malam memerawani seorang gadis
dan paginya menghukum mati gadis itu--, menjadi bacaan pembelajaran bagi siapa
saja yang hendak mengetahui bagaimana kekuasaan seharusnya diraih,
dipertahankan, dan dimuliakan.
Dan kisah Bu Cek-Tian
(625-705) yang hidup dan berkuasa di Tay Tong-tiuw, Tiongkok pada zaman Dinasti
Tang. Yang masuk istana sejak usia 13 tahun, sebagai selir kesayangan Kaisar
Lie Si-bin, sebelum berselingkuh dengan pangeran Mahkota Lie Ti. Setelah Lie Ti
menjadi Kaisar, maka, makin menjadilah Bu Cek-tian.
Nah, kisah si cantik nan mematikan
bernama Bu Cek-tian inilah yang digubah Yan dalam kungkungan asmara, darah,
dendam dan pengkianatan yang tidak berkesudahan. Tragis tapi menyasyikkan.
Karena banyak pembelajaran di sana. Apalagi, bagi yang gemar berkubang di ranah
politik yang penuh tikungan telikungan. Kata-kata, sekali lagi, dan lagi,
menjadi senjata di tangan dan hati Yan.
(Benny Benke/CN15)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar