Minggu, 17 Februari 2013

Nasehat dari Masa Lalu untuk Masa Depan



16 Februari 2013 | 19:02 wib
Nasehat dari Masa Lalu untuk Masa Depan

JAKARTA, suaramerdeka.com - Dalam sebuah kutipan wawancara Subcomandante Marcos, juru bicara karismatis Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN) Meksiko, yang mengangkat senjata sejak 1 Januari 1994 untuk melawan terampasnya hak-hak masyarakat adat oleh proses globalisasi ekonomi neoliberal, mengatakan, "Kata Adalah Senjata." Jawaban itu dia berikan kepada sastrawan Gabriel García Márquez dan Roberto Pombo mewakili majalah Meksiko, Revista Cambio.
Benar saja, via ribuan kata-katanya yang mengalir bak senjata, Subcomandante Marcos melakukan perlawanan kepada siapa saja yang dia nilai telah merampas hak-hak masyarakat adat karena serakahnya globlalisasi, dan neolibelarisme yang makin menggila, hingga kini.
Demikian halnya dengan Yan Widjaja, dengan kata-katanya pula, dia yang sejak Taman Kanak-Kanak sudah mengasup berbagai bacaan, bahkan ketika duduk di bangku SD sudah mengoleksi lengkap 40 jilid komik wayang karya R.A Kosasih (hal 587). Kemudian "menelanjangi" novel-novel karya angkatan Pujangga Baru, juga berbagai karya sastra dunia dari Mark Twain, Karl May, Alexandre Dumas, Victor Hugo, Shakespeare dan masih banyak nama lainnya, akhirnya kembali melahirkan buku barunya berjudul Maharani Bu Cek Tian; Kisah Klasik Petualangan Asmara, Intrik Politik, dan Pengkhianatan.
Dan senjatanya kali ini, menarasikan dengan menggubah kisah besar Bu Cek-tian (Wu Ce-tien). Seorang Maharani Budiwati yang berhasil memimpin negeri Tiongkok sampai ke puncak masa jayanya. Meski di beberapa cerita, ada yang mencercanya sebagai perebut takhta kerajaan Dinasti Tang, dan menggantikannya dengan semena-mena, di samping wataknya yang haus seks. (hal ix).
Dalam buku yang diterbitkan Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, setebal ix dan 587 halaman, serta terdiri dalam 75 Bab itulah, sosok Maharani, yang dalam catatan Yan telah diangkat ke cerita layar lebar, di antaranya karya sutradara Li Han-siang yang diproduksi Shaw Brothers, dia gubah dengan tidak mengecewakan. Dalam versi film pertama, sosok Maharani, dalam film Wou-hou (1960), dan sekuelnya, Empres Wu (1963) sepakterjak Maharani nan cantik tapi mematikan itu, telah menimbulkan interpretasi beragam dari pembaca sejarah.
Sehingga tidak berlebihan, pada era 80-an, masih dalam catatan penulis yang telah menjadi wartawan film sejak 1975 setelah hijrah ke Jakarta dari Purwokerto, kisah Maharani oleh TVB Hong Kong dibuat serialnya berjudul Empres Wu berdurasi 60 menit, sepanjang 30 episode, dan mendapat sambutan yang sangat luar biasa, pada masanya.
Di Indonesia pun, seri ini beredar dengan judul sama, dan mendapatkan sambutan yang tidak mengecewakan pula. Sebagai penggubah kisah besar itu, Yan juga menyadari, walau berlatar sejumlah tokoh yang benar-benar ada, dan pernah hidup, tapi pada hakekatnya kisah Maharani Bu Cek Tian, sejatinya separuhnya adalah dongeng, atau legenda. Sehingga dia layak masuk dalam daftar cerita legenda klasik seperti Sam Kok, 106 Berandal Bukit Liang-san, See Yu Pak yu dan Hing Sin. (hal x)
Sehingga pengarang asli dan pertamanya pun menjadi anonim, alias tak jelas juntrungannya, karena tidak ada catatan sejarah yang pasti, dan kredibel, dan oleh karenanya sudah hidup antara dunia nyata dan dongeng yang terus berkembang di masyarakat. Dan dalam versi Yan, yang telah menghasilkan lebih dari 125 judul buku, kisah Maharani yang dia gubah, berdasarkan cerita yang beredar di kalangan rakyat jelata masyarakat Tionghoa, dan malah bukan berdasarkan pada apa yang tertulis di sejarah resmi. Yang biasanya, sebagaimana kita maklumi bersama, sejarah dituliskan oleh para pemenangnya.
Mungkin, demi menghindari subyektifitas para pemenang itulah, Yan memilih untuk berleluasa ria, mengembangkan imajinasinya menggubah cerita ini, dengan tetap patuh pada pakem cerita utama, tentunya. Hasilnya, tokoh-tokoh dalam legenda Bu Cek-tian, yang terbangun dari seratus nama, dan terbagi dalam enam kelompok besar, mengalir dengan lancar, liat, menarik sekaligus aktual dengan kondisi saat ini.
Dari kelompok I: Kelompok Lie Sie-Bin, kelompok II: Kelompok Bu Cek-tian, kelompok III: Kelompok Sie Kong, kelompok IV: Kelompok Sie Kiang, kelompok V: Kelompok Lie Yok, dan kelompok VI: Kelompok Lie Tan, pembaca akan dibawa mengikuti parade besar sejarah manusia, dalam merebut, mempertahankan, memelihara, juga menghancurkan sesama atas nama apa saja, demi sebuah ganjaran bernama ke-ku-a-sa-an!
Kurusetra, dalam buku ini bisa terjadi di mana saja, tapi nasehat dari masa lalu, dalam buku ini, masih dan sangat erat kaitan korelasinya untuk masa kini, bahkan masa depan. Tidak berlebihan bila Yan, yang menggambarkan tokoh utama Bu Cek-tian yang konon kecantikannya setara dengan ratu Mesir, Cleopatra. Keganasannya sebanding dengan Sultan Persia, Syah Rayar, --yang setiap malam memerawani seorang gadis dan paginya menghukum mati gadis itu--, menjadi bacaan pembelajaran bagi siapa saja yang hendak mengetahui bagaimana kekuasaan seharusnya diraih, dipertahankan, dan dimuliakan.   
Dan kisah Bu Cek-Tian (625-705) yang hidup dan berkuasa di Tay Tong-tiuw, Tiongkok pada zaman Dinasti Tang. Yang masuk istana sejak usia 13 tahun, sebagai selir kesayangan Kaisar Lie Si-bin, sebelum berselingkuh dengan pangeran Mahkota Lie Ti. Setelah Lie Ti menjadi Kaisar, maka, makin menjadilah Bu Cek-tian.
Nah, kisah si cantik nan mematikan bernama Bu Cek-tian inilah yang digubah Yan dalam kungkungan asmara, darah, dendam dan pengkianatan yang tidak berkesudahan. Tragis tapi menyasyikkan. Karena banyak pembelajaran di sana. Apalagi, bagi yang gemar berkubang di ranah politik yang penuh tikungan telikungan. Kata-kata, sekali lagi, dan lagi, menjadi senjata di tangan dan hati Yan.
(Benny Benke/CN15)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar